Pabelan Media Online
  Resensi
 
Wilson: Pentingnya Hubungan Kemanusiaan di Balik Jeruji
Sumber : Sinar Harapan, 02 April 2005
 

Pengantar:
Penjara senantiasa menunjuk pada sesuatu yang menyeramkan, bagaimana seorang manusia harus menjalani hidupnya di balik jeruji besi. Namun bagi narapidana dan tahanan politik, penjara bisa berarti tempat lahir kembali untuk kemudian memiliki bekal guna melakukan sesuatu yang berguna bagi umat manusia.

Tamu kali ini adalah Wilson, seorang sejarawan muda lulusan Universitas Indonesia, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipenjara karena peristiwa 27 Juli. Ia mengungkapkan amatan dan pengalamannya selama di penjara dipandu pewawancara Faizol Riza.

Sekalipun saya belum membaca buku yang Anda tulis terakhir, tapi saya merasakan sesuatu yang saya pernah alami, karena saya juga pernah merasakan di penjara. Apa sebenarnya yang Anda tulis dalam buku itu?

Yang saya tulis adalah pengalaman sehari-hari orang yang pernah di penjara, hanya bedanya pengalaman tersebut ditulis dalam bentuk dokumen, fakta-fakta dan data-data yang mungkin agak detail. Dan ini sesuatu yang mungkin menjadi satu kenyataan yang tidak banyak diketahui oleh orang luar.

Hal-hal yang biasa terjadi di penjara, mungkin menjadi hal yang luar biasa bagi orang di luar penjara. Kenapa begitu? Karena penjara seperti yang saya tulis dalam buku ini, seperti sebuah dunia tertutup yang punya satu mekanisme tersendiri, dunia sendiri yang kadang-kadang tidak nyambung dengan dunia di luarnya.

Contohnya seperti apa?

Di buku ini saya tulis satu bab yang cukup menarik yaitu soal kebiasaan seksual di penjara. Misalnya soal homo seksualitas. Di dunia luar, hal tersebut menjadi sesuatu yang tabu, suatu hal yang sangat kontroversial, tapi di penjara itu hal yang biasa. Itu misalnya salah satu contoh yang ekstrim.

Anda terlibat dalam politik dan karena politik, Anda juga masuk penjara. Banyak orang juga dipenjara karena politik dan tentu Anda bergaul juga dengan mereka. Bagaimana kehidupan sehari-hari para aktivis politik di penjara waktu itu?

Kalau di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang sejarahnya agak panjang. Sejak zaman kolonial, LP Cipinang sudah menjadi suatu institusi untuk menghukum para aktivis politik, selain untuk menghukum para pelaku tindak kriminal. Namun semenjak Orde Baru, LP Cipinang memang sangat efektif sebagai tempat penghukuman bagi oposisi Soeharto saat itu. Di LP Cipinang pada tahun 1970-an, sudah masuk Tahanan/Narapidana Politik (Tapol/Napol) dari PKI seperti Pak (Kolonel) Latief, Asep Suryaman dan kawan-kawan.

Lalu tahun 1980-an, muncul kawan-kawan dari peristiwa Tanjung Priok, Lampung. Sehingga saat itu mulai terjadi pembagian, misalnya Blok EK (Ekstrim Kanan), yang dihuni oleh kawan-kawan dari kalangan Islam kanan, mereka berada di blok 3F dan 3E. Kemudian ada blok EQ (Ekstrim Kiri), di blok 3D dimana kawan-kawan napol PKI bermukim.

Tapi ketika mulai muncul gerakan perlawanan di Timor Timur dan gerakan demokrasi di Indonesia, pembagian itu sudah tidak relevan lagi. Kenapa? Karena kawan-kawan pejuang demokrasi juga mulai ditempatkan di blok yang dulu dinamakan blok EK, misalnya seperti saya, Mocthar Pakpahan, Sekretaris Subadio, Andi Syahputra. Sedangkan kawan-kawan seperti Nuku Sulaiman ditempatkan di blok EQ. Blok tahanan untuk gerakan pembebasan seperti Xanana dan tiga kawan dari Timor Timur lainnya ditempatkan di bagian terpisah/tersendiri. Kira-kira begitulah biografi dari LP Cipinang.

Dalam hal pergaulan, memang sejak awal telah diterapkan perlakuan khusus buat kita. Misalnya Penempatan Tapol/Napol bukan dilakukan oleh administrasi penjara tapi oleh Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakortanasda) dan mereka mempunyai satu pos di dalam penjara. Jadi kita ini bukan hanya diawasi dan diintimidasi di luar penjara saja tapi di dalam penjara pun mereka masih menyediakan orang khusus untuk mengawasi dan mengintimidasi kami. Tapi namanya juga Napol, kita pasti lebih pintar dari mereka. Di luar penjara saja kita bisa mengakali mereka apalagi di dalam penjara ha.. ha.. ha..

Produktivitas Anda di dalam penjara patut dipuji. Yang jadi pertanyaan bagi orang umum, memang boleh orang menulis di dalam penjara?

Sebelum saya dibawa ke LP Cipinang, saya ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung (Rutan Kejagung) di dekat Terminal Blok M yang dikenal sebagai tempat untuk menahan koruptor. Ketika di sana, memang alat tulis tidak boleh dibawa masuk sehingga kita betul-betul terisolasi dan tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Namun pengisolasian tersebut tentu saja bisa kita atasi dengan cara lain, misalnya ketika ada pengacara datang, kita tulis di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pesan-pesan keluar atau misalnya lewat bungkus rokok. Selalu saja ada cara untuk mengakali perlakuan represif aparat negara.

Nah ketika di LP Cipinang jauh lebih luwes lagi, di sana kami bahkan boleh membawa mesin ketik. mesin ketik inilah kawan paling setia saya selama di penjara. Saya bisa sampai 8 - 10 jam sehari berdua dengan mesin ketik ini.

Apa yang Anda ketik?

Macam-macam. Ada beberapa dokumentasi yang saya kerjakan di penjara. Pertama, saya membuat suatu penelitian sosial politik tentang bagaimana kehidupan di penjara. Itu yang kemudian menjadi data-data aktual dan faktual dari buku saya, sesuatu yang mungkin belum pernah diekspos oleh mereka yang pernah mendekam di penjara. Orang yang sering ke penjara banyak, tapi tidak banyak orang yang menulis tentang apa saja yang terjadi di penjara.
Yang kedua, saya juga melakukan dokumentasi terhadap kegiatan Xanana Gusmao selama di penjara.

Mengapa Xanana Gusmao?

Kenapa Xanana Gusmao, kenapa bukan Budiman Sudjatmiko? Kalau Budiman teman lama dan saya sudah bosan menulis tentang dia. Kalau Xanana lain menurut saya. Ketika saya melihat seorang pemimpin rakyat Timor Timur di penjara, saya melihat bagaimana seorang pemimpin hidup dalam kesederhanaan. Saya mencatat kehidupan sehari-harinya yang tidak diketahui orang lain karena Xanana kan image-nya pejuang gerilyawan, angkat senjata AK 47 atau M16, bawa radio komunikasi, jadi dia seperti membawa simbol-simbol yang menyeramkan.

Nah saya menampilkan Xanana sebagai sosok yang lain dalam tulisan-tulisan saya. Misalnya sosok Xanana dalam hal melukis, bermain bola, merawat bonsai, hubungannya dengan Napi kriminal, bagaimana dia belajar bahasa Indonesia dari mereka, bagaimana hubungannya dengan petugas administrasi, bagaimana dia membela Napi-napi kriminal agar mendapat pelayanan kesehatan yang lebih baik, agar mendapatkan jatah makanan yang lebih baik kualitasnya. Yang dia lakukan jauh lebih banyak ketimbang kami Tapol/Napol dari Indonesia. Menurut saya hal-hal seperti itu penting untuk diketahui, inilah tipe seorang pemimpin sejati, tidak banyak bicara soal dirinya namun bicara bagaimana dapat membantu orang semaksimal mungkin dalam kondisi yang sangat terbatas. Hal semacam itu tidak banyak saya temui bahkan dari kawan-kawan sendiri walaupun kami sudah mencoba berbuat seperti Xanana.

Mengenai cerita pihak pengelola penjara, bagaimana Anda menggambarkannya dalam buku Anda yang terbaru?

Saya melihat bahwa ada perbedaan antara Napol dan Napi kriminal. Napol ini seperti barang titipan institusi militer di dalam penjara. Jadi petugas penjara, administrasi penjara, sekedar menerima barang titipan. Mereka tidak punya kebijakan atau tidak berani mengambil inisiatif kebijakan terhadap kami. Bahkan dalam aturan penempatan sel, pengaturan hari besuk, aturan jatah asimilasi dan bebas bersyarat, semuanya diatur oleh militer dan mereka punya satu orang agen di sana. Waktu itu namanya Pak Datuk, berpangkat sekitar Letnan II atau Kapten karena dia berpakaian preman dan institusi itulah yang lebih banyak mengatur kita. Sehingga kami dengan administrasi penjara tidak banyak problem sebetulnya, justru kita lebih banyak bekerja sama dalam mengelola penjara. Kenapa? Karena kawan-kawan administrasi penjara ini kelihatannya kurang begitu serius mengurus penjara sehingga akhirnya para Tapol/Napol ini secara tidak langsung membantu mereka mengelola penjara.

Dalam kehidupan penjara, kenangan apa yang paling mengesankan buat Anda?

Yang paling berkesan bagi saya adalah ketika hubungan humanisme itu bisa menyatukan kita bersama. Antara PKI yang komunis, antara napol Lampung yang Islam kanan, antara PRD yang demokratis, antara napi kriminal, perampok bank, seperti Slamet Gundul, bisa menjadi suatu kumpulan masyarakat yang saling membutuhkan dan bantu-membantu. Itu satu pengalaman penting bagi saya, bahwa kemanusiaan adalah suatu identitas yang penting, yang bisa menjembatani banyak perbedaan-perbedaan individu, kelompok, manusia, ideologi dan politik dan itu saya temukan di penjara.

Di luar penjara saya tidak temukan kenyataan-kenyataan yang positif seperti ini, yang ada justru berintrik, berkompetisi, saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekan bahkan dengan sesama kelompok atau aktor pejuang demokrasi itu sendiri. Berdasarkan pengalaman itu, saya suka berguyon, sebaiknya semua kelompok demokrasi punya pengalaman dulu di penjara, biar adil, sehingga ketika mereka sudah punya pengalaman di penjara baru terasa butuhnya persatuan itu, baru terasa betapa pentingnya kita harus saling menghargai.

 
  Today, there have been 233623 visitors (959369 hits) on this page!  
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free